TAFSIR AL QUR’AN SURAT AL-MUJADILAH : 1-4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

 Menurut bahasa arab, Kata zhihar terambil dari kata zhahrun yang bermakna punggung. Dalam kaitannya dengan hubungan suami isteri, zhihar adalah ucapan suami kepada isterinya yang berisi menyerupakan punggung istri dengan punggung ibu suami, seperti ucapan suami kepada istirnya: “ Engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku”. 

Pada zaman jahiliyah ”zhihar“ menjadi Thalak. Lalu Islam datang membatalkannya. Kemudian Islam menetapkan isteri yang di zhihar haram dikumpuli sebelum suami membayar kafarah kepada isterinya .sekalipun suami yang menzihar isterinya itu hanya bermaksud untuk mentalaqnya saja, tapi secara hukum tetap di pandang zhihar. Dan jika dengan ucapan thalaq di maksud zhihar, tapi secara hukum tetap tahlaq. Andaikata suami berkata“ Engkau denganku seperti punggung ibuku”, sebagai thalaq, maka tetap di pandang sebagai zhihar. Dan zhihar tidak menyebabkan isteri terhalaq dari suaminya. Kafarah zhihar ini kafarah yang terberat dibanding dengan sumpah yang lainnya akan tetapi ada kafarah yang sebanding dengan kafarah zhihar ini yaitu, pelanggaran, persetubuhan suami istri siang hari diwaktu puasa Ramadahan. Sebagian umat Islam masih melihat bahwa zhihar itu dimaknai menyamakan punggung istrinya dengan punggung ibu nya, secara harfia tanpa melihat konteks makna zhihar itu ada satu ungkapan dalam benak hati.

Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Dzihar?

2. Bagaimana Tafsir ayat Dzihar QS. Al-Mujadilah 1-4?

3. Bagaimana Dzihar dalam Hukum Islam?

Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui  pengertian Dzihar

2. Untuk mengetahui  Tafsir ayat Dzihar QS. Al-Mujadilah 1-4

3. Untuk mengetahui  Dzihar dalam Hukum Islam

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Dzihar dan Dasar Hukum Dzihar

 a. Pengertian Dzihar, Dzihar dalam tata bahasa Arab (ظهار )terambil dari kata ( ظهر)Yang bermakna punggung.” Dalam kaitannya dengan hubungan suami istri, Dzihar adalah ucapan suami kepada istrinya yang berisi menyerupakan punggung istrinya dengan punggung ibu suami, seperti ucapan suami kepada istri,” Bagi aku kamu seperti punggung ibu ku” menurut para ulama fiqh makna hukum yang termaksud, dari redaksi kalimat itu adalah : Bagi Aku Engkau haram aku setubuhi seperti haramnya aku menyetubuhi Ibu Ku.”

pengertian terminologis menjelaskan makna zhihar ini secara rinci dan jelas.Ditemukan beberapa rumusan dalam kitab fiqih yang lebih mencakup dan refresentatif sebagai berikut. “ Suami menyamakan istrinya dengan mahromnya .[1] Dzihar adalah perkataan seorang suami kepada isterinya, “kau bagiku seperti punggung ibuku”. Pada masa jahiliyah dzihar dianggap sebagai thalaq. Akan tetapi setelah syariat islamiyah turun, ketetapan hukum dzihar yang berlaku di kalangan masyarakat jahiliyyah dibatalkan. Syariat Islam menegaskan bahwa dzihar bukanlah thalaq, dan pelaku dzihar wajib menunaikan kafarat dzihar sebelum ia melakukan hubungan biologis dengan isterinya.[2]Ada 4 kata kunci yang dapat menjelaskan hakikat zhihar:

a) Kata (تشبيه (menyamakan) yang mengundang arti zhihar itu merupakan tindakan seseorang untuk menyamakan atau menganggap sama , meskipun yang dianggap sama itu menurut hakikatnya adalah berbeda.

b) Kata (الزوح (suami, menjelaskan bahwa yang melakukan peyamaan atau yang mengnggap sama itu adalah suami terhadap istrinya bukan orang yang lain , seperti anak terhadap ayahnya atau lainnya.

 c) (زوحته )istirnya mengadung arti bahwa yang disamakan oleh suami itu adalah istrinya hal ini berarti bahwa bila yang disamakan oleh suami itu anaknya atau istri, yang menyamakan suaminya bukan disebut zhihar.

 d) (مه بمحر )kata “mahromnya” atau orang yang diharamkan di kawininnya, mengadung arti orang kepada siapa istrinya itu disamakannya. Adalah orang-orang yang haram di kawininya. Hal itu mengandung arti bahwa apabila suami menyamkan istrinya dengan orang-orang yang tidak haram dikawininnya , seperti saudara sepupunya, atau prempuan lain yang tidak ada hubungan mahrom,tidak disebut zhihar . Secara jelas dalam kitab-kitab fiqih dan buku – buku yang menjelaskan tentang pernikahan dapat pula dijelaskan pengertian zhihar sebagai engkau)“قول الزوج لزوحية انت على كظهرأمئ) :istrinya kepada suami ucapan; berikut dengan aku seperti punggung ibu ku” : Kalau ucapan ini dilakukan oleh suami yang tidak mengerti bahasa Arab dan ungkapan itu diucapkan hanya sebagai penghormatan sebagaimana dia menghormati ibunya maka tidak membawa akibat hukum apa-apa, namun orang Arab jahilinyah terbiasa menggunakan kata zhihar tersebut bahwa untuk memutus hubungan perkawinan dengan istrinya dengan mengatakan bahwa istrinya telah haram di gaulinya sebagaimana haramnya menggauli ibunya sendiri, senada dengan pendapatnya prof Dr quraisy syihab dalam tafsirnya al misbah bahwa zhihar yang dikenal ketika di zaman jahiliyah mengunakan istilah zdohrun , yakni punggung dalam pengertian bersetubuh. Jadi zhihar adalah ucapan seorang mukalaf ( dewasa dan berakal) kepada wanita yang halal digaulinya ( istri) bahwa wanita itu sama dengan salah seorang yang haram digaulinya baik karena hubungan darah, perkawinan, penyusuan, maupun oleh sebab lain. Ada syaratsyarat bagi jatuhnya zhihar, baik syarat berkaitan dengan si pengucap yang ditujukan kepadanya ucapan itu, persamaan yang dimaksud maupun redaksi yang digunakan sehingga jatuhnya zhihar bergantung pada niat pengucapanya, misalnya, jika sang suami mempersamakan mata atau kepala istrinya dengan mata atau kepala ibunya. Mata dan wajah bukanlah bagian badan yang menjadi objek hubungan seks, ia pun bisa diucapkan dalam kontek penghormatan. Betapa pun , zhihar tidak di nilai oleh al-quran sebagai perceraian kecuali kata zhihar dikuti oleh kata yang menunjukan tekad suami mengadakan perceraian. Lebih lanjut dapat memastikan bahwa panggilan ibu yang kita gunakan di indonesia untuk menunjuk istri bukanlah termasuk zhihar. sebab yang dimaksud bukan mempersamakannya dengan ibu kandung dalam hal keharaman mengawininya. Ketika menamai si istri sebagai ibu maksudnya adalah ibu anak-anak atau calon ibu anak-anak kita. Tidak termasuk zhihar mempersamakan istri dengan ibu kandung menyangkut hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan hubungan seks. Sayyid sabiq dalam bukunya fiqih sunnah mengomentari bahwa yang dimaksud dengan zhihar adalah suami berkata kepada istrinya engkau dengan aku seperti punggung ibuku , pada zaman jahiliyah perkataan yang dimaksud menjadi talak kemudian islam datang dan membatalkannya. Islam menetapkan istri yang di zhihar haram dikumpuli sebelum membayar kafarat kepada istrinya, sekalipun suami yang menzhihar istrinya hanya bermaksud untuk mentalaknya saja, secara hukum tetap dipandang zhihar. Akan tetapi jika suami dengan ucapan talak tapi dimaksudkan zhihar, secara hukum tetap talak. andaikan suami berkata engkau sama dengan punggugn ibuku , maka hukumnya bukan sebagai talak, tapi zhihar. Oleh karena itulah zhihar tidak menyebabkan istri tertalak dari suaminya, beliau juga sependapat dengan Ibnu Qoyim bahwa pada zaman jahiliyah zhihar dipandang sebagai talak, lalu dibatalakan oleh islam dan dipandang tidak berlaku.[3]

 

 

B. TAFSIR Al Quran Surah Al-Mujadilah :1-4

 

قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتي‏ تُجادِلُكَ في‏ زَوْجِها وَ تَشْتَكي‏ إِلَى اللَّهِ وَ اللَّهُ يَسْمَعُ تَحاوُرَكُما إِنَّ اللَّهَ سَميعٌ بَصيرٌ

 

الَّذينَ يُظاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسائِهِمْ ما هُنَّ أُمَّهاتِهِمْ إِنْ أُمَّهاتُهُمْ إِلاَّ اللاَّئي‏ وَلَدْنَهُمْ وَ إِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَراً مِنَ الْقَوْلِ وَ زُوراً وَ إِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ

 

وَ الَّذينَ يُظاهِرُونَ مِنْ نِسائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِما قالُوا فَتَحْريرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَ اللَّهُ بِما تَعْمَلُونَ خَبيرٌ

 

 فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيامُ شَهْرَيْنِ مُتَتابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعامُ سِتِّينَ مِسْكيناً ذلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَ رَسُولِهِ وَ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَ لِلْكافِرينَ عَذابٌ أَليمٌ

 

Artinya

1.      Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengemukakan bantahan kepada engkau dalam hal suaminya itu dan dia mengadu kepada Allah; Dan Allah mendengar soal jawab di antara kamu berdua; Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar. lagi Maha Melihat

2.      Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, tidaklah isteri-isterinya itu jadi ibu-ibu mereka. Tidaklah ibu-ibu mereka melainkan yang menganakkan mereka. Dan sesungguhnya mereka telah benar-benar mengucapkan kata-kata yang munkar dan dosa. Dan sesungguhnya Allah adalah Maha Pemberi maaf lagi Pemberi ampun.

3.      Dan orang-orang yang menzhihaar terhadap setengah dari isteri isteri mereka , kemudian mereka itu hendak menarik bagi apa yang pernah mereka ucapkan itu, maka hendaklah merdekakan seorang budak sebelum keduanya bersentuh-sentuhan. Demikianlah kamu diberi pengajaran dengan dia. Dan Allah terhadap apa-apapun yang kamu kerjakan adalah Maha Tahu.

4.      Maka barang siapa yang tidak mendapatnya, maka hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut. Maka barang siapa yang tidak kuat, maka hendaklah memberi makan enampuluh orang miskin. Demikianlah agar kamu beriman kepada Allah dengan Rasul-Nya. Dan itulah dia batas-batas yang ditentukan Allah. Dan bagi orang-orang yang kafir adalah azab siksaan yang pedih..

 

 

 

 

 

Zihar, Satu kebiasaan yang sangat ganjil dan buruk di zaman Jahiliyah di tanah Arab ialah perlakuan terhadap seorang isteri yang tidak disukai lagi dengan ucapan yang disebut ZHIHAAR. Pokok asal arti zhihaar ialah diambil dari kalimat punggung, atau bahagian belakang dari isteri.Yaitu seorang laki-laki yang tidak suka lagi kepada isterinya mengucapkan;

Anti 'alayya ka zhohri ummi'. [Kau atasku adalah sama dengan punggung ibuku].

Difahamkan dari ucapan itu ialah bahwa dia telah memandang isterinya itu sama dengan punggung ibunya. Niscaya kalau isteri telah disamakan dengan punggung ibu, samalah artinya tidak akan dipegang lagi, tidak akan disentuh lagi sebagai sentuhan terhadap seorang isteri. Dengan demikian samalah artinya bahwa dia telah disisihkan, meskipun tidak diucapkan lafal cerai atau thalaq.

 

Niscaya adat buruk jahiliyah itu tidak patut kejadian dalam kalangan orang Islam yang telah sadar bahwa maksud agama tidaklah membuat orang perempuan jadi terlantar. Namun hukum yang pasti. belum ada, karena sejak pindah ke Madinah orang menzhihaar isteri itu belum pernah kejadian.[4]

Tiba-tiba pada suatu hari kejadianlah orang yang men-zhihaar itu.

 

Berkata imam Ahmad bin Hanbal, dalam kedudukan beliau sebagai seorang perawi hadits ; "Menyebutkan kepada kami Sa'ad bin Ibrahim dan Ya'qub. Keduanya itu berkata; "Menyebutkan kepada kami ayahku," "Menyebutkan kepada kami Muhammad bin Ishaq, menyebutkan kepadaku Ma'mar bin 'Abdullah bin Hanzhalah, dari Yusuf bin 'Abdullah bin Salaam, dari Khuailah binti Sta'labah, " Terjadi demi Allah pada diriku dan diri Aus bin Shamit , Tuhan menurunkan pangkal dari Surat Al-Majaadalah. Katanya selanjutnya; "Saya adalah isteri dari Aus bin Shamit itu. Dan dia adalah seorang; laki-laki yang telah tua dan perangainya sudah mulai buruk. Pada suatu hari dia pulang ke rumah, lalu aku tanyakan suatu hal, tetapi disambutnya dengan marah-marah, sehingga keluarlah ucapannya; "Kau atasku adalah sebagai punggung ibuku."

 

Lalu Khuailah melanjutkan ceriteranya ; "Setelah dia mengucapkan kata-kata itu diapun keluar dari rumah dan pergi duduk-duduk ke tempat berkumpul kaumnya sesaat lamanya. Setelah itu diapun pulang kembali Setelah itu rupanya dia ingin mendekatiku hendak menyentuhnya. Lalu dia aku tolak dan kataku; "Jangan dekat kepadaku! Demi Allah yang Khuailah ada dalam tangan-Nya. Engkau tidak boleh lagi mendekatiku setelah engkau mengucapkan kata-kata tadi itu sampai datang hukum Allah dan Rasul-Nya pada kita."

 

Kata Khualiah selanjutnya; "Lalu dicobanya hendak menyerang dan memegangku, tetapi aku mengelak. Lalu terjadilah dia menarik dan aku mengelak, bersitegang. Akhirnya dia aku tendang, yaitu tendangan seorang perempuan yang masih kuat terhadap seorang laki-laki tua, sampai dia terjatuh. Maka segeralah aku pergi ke rumah tetangga, aku pinjam selendangnya lalu aku pergi menghadap Rasulullah saw. Dan duduklah aku di hadapan beliau, aku ceriterakan kepadanya apa yang telah aku alami itu dan aku mengeluh mengadukan kepada beliau tentang buruknya perangai suamiku itu lalu berkatalah Rasulullah saw.;

"Anak pamanmu itu sudah tua sangat, taqwalah kepada Allah dan rukunlah dengan dia. "

Khualiah berkata selanjutnya; "Lalu aku jawab, aku belum akan pulang ke rumah, ya Rasulullah, sebelum datang ketentuan AI-Qur'an tentang diriku,"

 

Tiba-tiba datanglah keadaan yang biasa pada Rasulullah ketika wahyu turun, yaitu beliau seakan-akan pingsan sejenak, lalu beliau bangun. Lalu dia berkata kepadaku; "Hai Khualiah! Telah turun Al-Qur'an yang mengenai diri kau ini dan diri suami kau." Lalu beliau bacalah ayat ini;

 

sampai kepada sabda tuhan;

 

Dan bagi orang-orang yang tidak rnau percaya adalah siksaan yang pedih. "

Selanjutnya Rasulullah bersabda; "Pulanglah dan beritahukan kepadanya supaya dia memerdekakan seorang budak!"

Lalu kata Khualiah; "Aku berkata kepada beliau; "Ya Rasulullah! Tidaklah ada padanya harta untuk pembeli budak yang akan dimerdekakan."

Maka kata Rasulullah saw. pula; "Kalau tak sanggup memerdekakan seorang budak, hendaklah dia puasa dua bulan berturut-turut."

Berkata Khualiah; "Berkata aku; demi Allah! Dia sudah tua, dia tidak kuat lagi mengerjakan puasa."

Maka sabda Rasulullah saw. pula; "Maka hendaklah dia memberi makan enampuluh orang miskin."

Berkata khualiah selanjutnya; "Aku jawab kepada Nabi saw.; Untuk memberi makan enampuluh orang miskin itu tidak pula ada padanya."

Lalu Rasulullah bersabda; " Biar aku bantu separuh dari makanan "

Khualiah menyambut; "Ya Rasul Allah! Kalau demikian, biarlah aku pula yang membantu untuknya yang separuh lagi."

Akhirnya bersabdalah Rasulullah saw.; "Kau telah berlaku benar dan berbuat baik. pulanglah segera dan beri makanlah enampuluh orang miskin itu. Setelah itu berlaku baiklah seterusnya kepada suamimu.

 

Sekianlah hadits riwayat yang dibawakan oleh Imam Ahmad tentang kissah Khuailah atau Khaulah dengan suaminya Aus bin Shamit ini. Yaitu saudara dari 'Ubbadah bin Shamit.

 

Untuk melengkapkan lagi kita salinkan pula apa yang disalinkan oleh Alamarhum Syaikh Mahmoud Syaltut dalam buku beliau "Alfatawaa," ketika menerangkan dari hal KAFFARAH, yaitu denda yang ditentukan menurut agama. Di antaranya denda zhihaar ini.

 

Yaitu setelah Aus pulang kembali dari tempat pertemuan dengan kaumnya itu dan sampai di rumah, marahnya sudah turun dan dia sudah menyesal, dia berkata; "Pada persangkaanku ucapanku tadi itu telah menyebabkan kita bercerai."

l.alu Khaulah menjawab; "Demi Allah, pada pendapatku yang serupa itu bukan thalaq." Kejadian di antaranya dengan suaminya itu. katanya; "Suamiku Aus, telah mengawiniku di kala aku masih muda, di waktu itu aku masih cantik dan banyak yang suka kepadaku. Sebab ketika itu pun aku kaya , ada harta ada keluarga besar.

 

Tetapi setelah aku tua macam begini dan telah punah mudaku dan telah berserakserak keluargaku . dilakukannyalah zhihaar kepada diriku. sekarang rupanya dia telah menyesal. Masih adakah harapan buat kami berkumpul kembali .

Rasulullah saw menjawa ; Pada pendapatku engkau telah haram baginya " . Dan tak ada sesuatu pun ayat turun kepadaku mengenai soalmu ini

 

Menurut riwayat yang disalinkan Syaikh Syaltout itu, meskipun telah diberi keterangan demikian oleh nabi saw., namun Khaulah masih tetap juga duduk di hadapan Rasulullah. Dan dengan tidak merasa bosan dicobanya juga menanyakan sekali lagi kepada Nabi saw , namun jawab Nabi masih tetap seperti yang semula juga .Yaitu pada pendapat beliau, Khaulah sudah haram atas Aus sebab sudah dizhihaarnya dan yang mengenai itu tidak ada turun ayat satupun.

 

 Cara Qur’an Membebaskan Perempuan

            Pembebasan dan pengangkatan derajat perempuan merupakan salah satu bagian dari agenda besar al-Qur’an dan Sunnah. Semua agenda pembebasan dan reformasi (sulh) yang dilakukan al- Qur’an melalui teladan Nabi yang menerima  mandate langsung dari Tuhan, dasarnya adalah pemuliaan terhadap manusia (ikramun nas) dan penghargaan yang tinggi terhadap kehidupan nya. Itulah mengapa misalnya dalam al-Qur’an terdapat peringatan yang sangat keras kepada siapa pun bahwa “… barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan­akan dia telah membunuh manusia seluruhnya (QS. al-Ma’idah [5]: 32). Sebaliknya masih pada ayat yang sama, Allah juga menegaskan bahwa “dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah­olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dengan demikian, membebaskan, memuliakan dan mendukung hak hidup perempuan sebagai bagian dari manusia adalah menjadi bagian dari menjalankan misi alQur’an tersebut.

Dari ayat itulah tampaknya yang mendasari lahirnya berbagai pandangan para cendekiawan tentang ajaran dasar dan subtantif Islam. Muhammad ‘Imarah misalnya berpendapat bahwa “Islam adalah agama yang bersumber dari Tuhan dan berorientasi kemanusiaan. Karenanya  katanya Islam harus menjadi solusi bagi problem kemanusiaan”. Sementara itu, Hassan Hanafi me nge mukakan bahwa: “Islam is a humanistic religion. Man is the centre of the Universe”.  Husain Mu’nis juga mengemukakan bahwa:

“Al-Qur’an memang bersumber dari Tuhan, tapi tujuan-tujuan akhirnya adalah untuk kemaslahatan manusia belaka. Setiap ayat alQur’an dan setiap Hadis Nabi selalu dimaksudkan untuk kebajikan manusia secara mutlak; sisi kemaslahatan tersebut berlaku tanpa memenangkan manusia yang satu dari yang lain, kecuali atas ketakwaan dan apa yang disumbangkan mereka untuk kebajikan umat”.

            Menurut Faruq Sherif, setidaknya terurai dalam lebih 200 ayat  yang dapat dijadikan rujukan untuk membebaskan dan mengangkat derajat perem puan yang tersebar dalam lebih sepuluh surat dalam al-Qur’an. Surat-surat tersebut adalah alBaqarah, al-Ma’idah, an-Nur, al-Ahzab, al-Mujadilah, al-Mumtahanah, at-Tahrim dan dalam dua surat yang sering disebut dengan surat an­Nisa’ alKubra (an-Nisa’) dan an-Nisa’ as-Shugra (yaitu surat at-Thalaq).  Surat an-Nisa’ dan karenanya disebut al-Kubra, merupakan surat yang paling banyak membicarakan tema khusus mengenai perempuan, yaitu sebanyak 22 ayat dari 176 ayat, yaitu dari mulai asal penciptaan perempuan, pernikahan, penyelesaian perselisihan rumah tangga, waris, hukuman perbuatan amoral, dan lain-lain.

            Menurut Ahmad Khayyarat, sebagaimana dikutip Syafiq Hasyim, al-Qur’an dan Sunnah melakukan tujuh pembelaan terhadap perempuan yang kesemuanya merupakan revisi dan antithesis dari pandangan dan perlakuan masyarakat se belum Islam. Ketujuh pembelaan tersebut adalah 1) perempuan dalam Islam adalah orang yang dilidungi undang-undang, 2) perempuan diberi hak untuk memilih pasangan 3) perempuan memiliki hak talak, 4) perempuan berhak mewarisi dan memiliki kekayaan, 5) perempuan memiliki hak penuh untuk memelihara anaknya, 6) perempuan berhak men-tasarrufkan hartanya, dan 7) perempuan memiliki hak hidup.[5]

 

Biografi  Qur’an Surat al-Mujadilah

Al-Qur’an surat al-Mujadilah merupakan surat ke 58 dari urutan mushaf yang kita miliki sekarang dan terletak di antara surat al-Hadid dan surat al-Hasyr. Di akhir surat al-Hadid (ayat 29) Allah menjelaskan bahwa karunia-Nya (fadlullah) yang memang tak terbatas akan diberikan kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya dan karena nya, tidak ada yang kuasa menghalangi kuasa-Nya tersebut.

Ayat 1-6 surat al-Mujadilah benar-benar menjelaskan karunia Allah yang tak terbatas tersebut, yaitu diterimanya gugatan seorang perempuan atas namanya dan anak-anaknya, karena ia tidak terima didzihar oleh suaminya. Penerimaan Allah atas gugatan tersebut dengan demikian telah membalikkan fakta dan merupakan goresan tinta sejarah baru akan eksistensi dan penghargaan kepada perempuan dalam sejarah social masyarakat Arab (waktu itu) khususnya dan Islam pada umumnya. Bagaimana tidak, sebagaimana terpotret dari tradisi jahiliyah sebelumnya, perempuan bukan saja tidak didengar suaranya dan tidak dianggap pendapatnya25, tapi bahkan tidak di kehendaki kehadirannya. Turunnya surat al-Mujadilah benar-benar telah mendekonstruksi tradisi tersebut.

Dzihar adalah salah satu tradisi jahiliyah yang dilakukan suami kepada istrinya yang terdiri dari rumusan kata-kata: “bagiku engkau sama dengan punggung ibuku”.  Ungkapan atau kata-kata ini disebut al-Qur’an (ayat kedua alMujadalah) sebagai kata-kata munkar dan dusta. Mengapa dzihar disebut munkar dan dusta, sebab dzihar merupakan ungkapan tidak langsung suatu perceraian yang membebaskan suami dari tang gung jawab kewajibannya sebagai suami. Akan tetapi dzihar juga tidak membolehkan istri bebas meninggalkan rumah suami atau kawin lagi. Kondisi ini pasti tidak disenangi istri.

A. Dzihar Dalam Islam

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A. Kesimpulan

            Sayyid Quthb dan Quraish Shihab berpendapat bahwa dalam menafsirkan ayat yang berkaitan dengan QS. al-Mujadilah/58, keduanya sama-sama menafsirkan tentang perkataan zihar, yaitu “Engkau bagiku seperti punggung ibuku” sehingga istri haram baginya, tetapi kata-kata ini tidak menjadikan talak, sehingga istri tidak dapat menikah dengan laki-laki lain. Hubungan suami dan istri terus berlanjut, tetapi tidak boleh menggauli istri sehingga ia membayar kafarat zihar.

            Perbedaan pandangan antara keduanya terletak pada perbedaan memahami kandungan ayat yaitu QS. al-Mujadilah/58: 2. Di mana Sayyid Quthb berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ayat itu adalah istri bukanlah ibu sehingga ia mesti diharamkan seperti ibu. Sayyid Quthb tidak menjelaskan hal yang diserupakan dengan ibu, yaitu hubungan nasab, susuan, atau sebab lainnya. Lain halnya dengan penafsiran yang dilakukan oleh M. Quraish Shihab, ia menyimpulkan zihar adalah ucapan seorang mukallaf kepada wanita yang halal digaulinya (istri) bahwa wanita itu sama dengan salah seorang yang haram digauli, baik karena hubungan darah, perkawinan, penyusuan, maupun oleh sebab lain.

            Perbedaan lain yang nampak adalah bahwa Quraish Shihab juga memberikan syarat jatuhnya zihar baik syarat itu berkaitan dengan pengucap yang ditujukan ucapan, persamaan yang dimaksud, maupun redaksi yang digunakan. Jika ingin kembali, Sayyid Quthb memilih salah satu pendapat yang menegaskan bahwa mereka hendak menggauli istri yang diharamkan kepada dirinya sendiri melalui zihar karena pendapat inilah yang paling selaras dengan konteks. Jadi, memerdekakan budak dilakukan sebelum ia menggauli istrinya. Dalam hal ini M. Quraish Shihab banyak mengangkat riwayat para Imam dalam menafsirkannya. Imam Syafi’i berpendapat bahwa kehendak kembali bermakna adalah kehendak untuk tetap menganggapnya sebagai istri dan berlalunya waktu setelah ucapannya. Pendapat inilah yang dimaksud oleh Quraish Shihab dalam tafsirnya.[6]

 




[1] Fikar, Nukhbatul (2018) Konsep Dzihar Dan Penerapannya Dalam Keluarga Islam Nusantara. Diploma atau S1 thesis, Universitas Islam Negeri "SMH" Banten.

[2] Kholil Syu’aib. Qishash, Diyat dan Kafarat. Fiqh Jinayat Siyasah. 2018

 

[3] Fikar, Nukhbatul (2018) Konsep Dzihar Dan Penerapannya Dalam Keluarga Islam Nusantara. Diploma atau S1 thesis, Universitas Islam Negeri "SMH" Banten.

 

[4] Kongaji, Al-Mujadalah ayat 1-4, Tafsir Al-adzhar.

[5] Musawa, jurnlal studi gender dan islam, Kajian QS. Al-Mujadilah 1-6,  PSW UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008

Hal. 13-14

[6] Arif Munandar, ZIHAR DALAM TAFSIR FI ZHILAL AL-QUR’AN DAN TAFSIR AL- MISHBAH, Tafsé: Journal of Qur'anic Studies, Vol. 2 No. 1, pp. 17-29, Juni 2018