PENDAHULUAN

A.  Latar blakang

  Kaum muslimin senantiasa mengajarkan al-Qur`an secara terus menerus. Sehingga bacaan al-Qur`an yang beragam versi tersebar ke seluruh masyarakat. Periode qurra`(imam qira`at) yang mengajarkan alQur`an kepada orang-orang menurut cara mereka masing-masing adalah dengan berpedoman kepada masa para sahabat.

Di antara para sahabat yang terkenal mengajarkan qira`at adalah Ubai bin Ka‟ab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas‟ud, Abu Musa al-Asy‟ari dan lain-lain. Mereka ini dikirim oleh Usmân bin Affan untuk mengajarkan al-Qur`an ke berbagai wilayah Islam beserta mushaf al-Qur`an bersama mereka. Dari para sahabat itulah sejumlah besar tabi‟in di setiap negeri mempelajari qira`at. Kemudian muncullah nama-nama ahli qira`at di setiap negeri.

  Mmprlajari ilmu qira’at sangat dianjurkan slain brguna agar lbih mmahami al-quran dan bisa mnyambung sanad dngan nabi Muhammad ilmu qira’at juga bisa mnjadikan kita untuk lbih mnghargai dan mmahmi prbdaan, shingga tidak mudah mnyalahkan oralng lain dan mrasa paling bnar.

B.  Rumusan masalah

1.Bagaimana ilmu qira’at pada masa tabi’in ?

2.Bagaimana Sejarah dan Perkembangan Qira’at?

3. Bagaiman Tokoh-Tokoh ahli qira’at dari golongan tabi’in ?

4.Bagaimana Penyebaran qira’at pada masa tabi’in?

5.Bagaimana pmbukuan Qiraat pada masa tabi’in ?

C.  Tujuan pnulisan

1.Mngtahui Bagaimana ilmu qira’at pada masa tabi’in

2.Mmahami Sejarah dan Perkembangan Qira’at

3.Mmahami Tokoh-Tokoh ahli qira’at dari golongan tabi’in

4.Mmahami Penyebaran qira’at pada masa tabi’in

5.Mmahami pmbukuan Qiraat pada masa tabi’in

 


 

 

BAB II

P E MBAHASAN

A. Qira’at pada masa tabi’in

   Pada permulaan abad ke-2 H, atau pada generasi Tabi’in, muncul beberapa orang yang menfokuskan perhatian mereka pada masalah qira’at. Sebagian besar mereka berasal dari kawasan-kawasan Islam yang mendapat kiriman kopian mushaf utsmani. Para ulama spesialis bidang qira’at memandang penting dibentuknya ruang privat untuk bidang qira’at yang sudah mencukupi persyaratan sebagai disiplin ilmu baru dalam mozaik peradaban Islam. Keberadaan para ahli qira’at tidak hanya terfokus di sebuah kawasan Islam, namun sudah menyebar cukup merata di beberapa daerah.[1]

   Adanya madrasah-madrasah sejak masa sahabat, juga mnjadi salah satu factor pndukung  qira’at semakin berkembang pada masa tabi’in. Mereka adalah generasi penerus sehingga sanad qira’at bisa terus bersambung. Dari tangan mereka muncullah imam-imam qira’at yang menjadi panutan generasi berikutnya.

 

B.  Sejarah dan Perkembangan Qira’at

Nabi Saw menerima Al-Qur’an dari malaikat Jibril AS secara berangsur-angsur selama lebih kurang 23 tahun. Sejarah mencatat bahwa selama kurun waktu tersebut Nabi tidak hanya menetap di Makkah, namun sering bepergian dan hijrah ke kota lain, seperti Madinah. Proses turunnya Al-Qur’an dan perjalanan dakwah Nabi tersebut tentu sangat berpengaruh pada sejarah dan perkembangan qira’at.

Di kalangan ulama, terdapat dua pendapat yang menjelaskan tentang kapan mulai munculnya qira’at, pendapat itu adalah sebagai berikut;

Pertama, qira’at turun di Makkah bersama permulaan turunnya wahyu Al-Qur’an. Pendapat ini berargumen bahwa kebanyakan surat Al-Qur’an turun di Makkah dan di dalamnya terdapat qira’at, namun tidak demikian dengan surat-surat yang turun di Madinah. Menurut mereka, inilah yang menunjukkan bahwa qira’at diturunkan di Makkah.

Kedua, qira’at diturunkan di Madinah setelah Nabi hijrah. Pendapat kedua ini beralasan bahwa dengan banyaknya orang-orang yang masuk Islam dari berbagai suku dan kalangan dengan bahasa dan lahjat mereka masing-masing,

Disamping itu, ada pula hadis yang menceritakan Nabi memohon kepada Jibril untuk diberi keringanan membaca Al-Qur’an lebih dari satu huruf sebagaimana yang sudah penulis cantumkan pada bab pertama. Hadis tersebut turun di suatu tempat yang bernama Adah Bani Gafar

Kedua pendapat di atas sama-sama kuat, namun masih bisa dikompromikan dengan mengacu kepada makna qira’at itu sendiri. Apakah yang dimaksud itu qira’at dalam arti luas atau qira’at dalam arti sempit. Pendapat pertama merujuk pada pengertian qira’at dalam arti luas, karena qira’at tidak hanya sebatas perbedaan-perbedaan, namun juga kesamaan bacaan Al-Qur’an. Adapun pendapat kedua mengindikasikan qira’at dipahami dalam arti sempit yang hanya mencakup perbedaan bacaan karena adanya perbedaan dialek.

Analisis tempat yang menjadi awal mula turunnya qira’at di atas menginformasikan bahwa qira’at sudah ada semenjak masa Nabi, ini sekaligus membantah anggapan kalangan yang mengatakan bahwa qira’at merupakan hasil karangan dari para Imam qira’at. Masa selanjutnya, qira’at terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Untuk lebih memudahkan menelusuri dinamika qira’at,[2]

 

C. Tokoh-Tokoh ahli qira’at dari golongan tabi’in

   Dari golongan tabi’in yang terkenal sebagai ahli qira’at banyak sekali, antara lain:

a)         Di kota Madinah:

1)         Ibn Musayyab,

2)         ‘Urwah bin al-Zubair,

3)         ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz,

4)         Sulaiman bin Yasar,

5)         Zaid bin Aslam,

6)         Ibn Syihab,

7)         Ibn Syihab al-Zuhri,

8)         ‘Abd al-Rahman bin Hurmuz,

9)         Muslim bin Jundub dan Mu’az bin Haris

b)         Di kota Mekkah:

1)         Tawus,

2)         ‘Ikrimah,

3)         Ibn Abi Malikah,

4)         ‘Ubaid bin ‘Umair, dan lain-lain;

 

c)         Di kota Bashrah

1)         al-‘Aliyah,

2)         Nasar bin ‘A bin Ya’mar,

3)         Jabir bin Hasan, Ibn Sirrin

4)         ‘Abdullah bin Abi Ishaq,

5)         ‘Isa bin ‘Umar,

6)         Abu‘Amr bin al-‘Ala’,

7)         Ya’qub al-Had rami;

d)        Di kota Kufah

1)   ‘Alqamah bin Qais al-Nakha’i,

2)   ‘Abu al-Rah man al-Salami,

3)   Al-Aswad bin Zaid al-Nakha’i,

4)   Sa’id bin Zubair,

5)   ‘Umar bin Syarahbil

e)         Di kota Syam:

1)      Mugirah bin Abi  Syihab al-Mahzumi,

2)      Abu al-Darda’,

3)      Khalid bin Sa’id,

   Sedangkan di antara para tabi’in ada beberapa orang yang menjadi imam dari qira’at yang kita kenal sampai sekarang:

(1) Abdullah bin Amr Al-Yahisbi. Ia menjadi qadli sekaligus imam Masjid di Damaskus pada masa pemerintahan alWalid bin ‘Abd al-Malik. Dia adalah imam qira’at penduduk Syam dan berguru kepada Abu al-Darda’, Fadalah bin ‘Ubaid, Wa’ilah bin al-Asqa’, dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Ia juga dianggap sebagai imam yang s iqah, dan termasuk tabi’in pilihan.[3]

 (2) Ibn Kasir (45-120 H) yang dikenal dengan nama lengkap ‘Abdullah bin Kasir al-Makki al-Dari, berasal dari Bahrain. Ia merupakan hamba yang telah dimerdekakan oleh ‘Umar bin ‘Alqamah al-Kanani. Dan termasuk tabi’in tingkat kedua. Ia belajar qira’at kepada ‘Abdullah bin al-Zubair, Abu Ayyub al-Ansari, Anas bin Malik, Darbas maula Ibn al-‘Abbas, Mujahid bin Jabir, ‘Abdullah bin al-Saib dan yang lainnya. Di antara muridnya adalah Hamad bin Zaid, Hamad bin Salmah, al-Khalil bin Ah}mad, ‘Isa bin ‘Amr al-Saqafi, Abu ‘Umar bin al-‘Ala’ dan Sufyan bin ‘Uyainah. Ia orang yang fasih, bahkan lebih fasih daripada gurunya sendiri, yakni Mujahid.[4]

  (3) Âshim al Kûfî. Dia adalah „Âshîm bin Abî al-Najûd al-Asadî dan dinamakan pula dengan Ibnu Bahdalah, Abu Bakr. Beliau adalah seorang tabi‟in dan wafat di Kufah tahun 128 H. Dua orang perawinya adalah Syu‟bah dan Hafsh.

  (4) Abû Amr. Dia adalah Abû Amr Zabbân bin al-„Alâ bin „Ammâr alBasharî. Ada yang mengatakan bahwa namanya adalah Yahya dan dikatakan bahwa namanya adalah kunyahnya. Beliau wafat di Kufah tahun 154 H. Dua orang perawinya adalah al-Daurî dan al-Sûsî.

(5). Hamzah al-Kûfî. Ia adalah Hamzah bin Habîb bin „Imârah alZayyât al-Fardhî al-Taimî. Ia diberi gelar dengan Abû „Imârah. Beliau wafat di Halwân tahun 156 H pada masa pemerintahan Abû Ja‟far al-Manshûr. Dua orang perawinya adalah Khalaf dan Khalad.

(6). Nâfi‟. Dia adalah Abû Ruwaim Nâfi‟ bin Abdurrahman bin Abû Nu‟aim al-Laitsî. Beliau berasal dari Isfahân dan wafat di Madinah tahun 169 H. Dua orang Perawinya adalah Qâlûn dan Warasy.

(7). Al-Kisâi. Beliau adalah „Ali bin Hamzah,seorang imam ilmu Nahwu di Kufah. Beliau di beri gelar dengan Abû al-Hasan. Dinamakan al-Kisâi karena beliau memakai “kisâ`” ketika ihram. Dia wafat di Barnabawaih, sebuah desa di Ray ketika menuju ke Khurâsân bersama dengan Rasyîd tahun 189 H[5]

           Ketujuh imam qira`at yang masyhur dan disebutkan secara khusus oleh Imam Abû Bakar bin Mujahid al-Bagdadi yang merupakan penggagas pertama munculnya al-Qirâ`at al-Sab‟ah (qira`at tujuh) mengatakan bahwa mereka adalah ulama yang terkenal hafalan, ketelitian, dan cukup lama menekuni dunia qira`at. Ketika ia menentukan tujuh imam qira`at tersebut, ia berpijak pada ketokohan seseorang dalam bidang ilmu qira`at dan kesesuaian bacaan mereka dengan mushaf „Usmâni yang ada di negeri mereka dan bacaan mereka betul-betul masyhur di kalangan ulama di negerinya masing-masing.

D.  Penyebaran qira’at pada masa tabi’in

               Penyebaran ilmu qira’at begitu cepat. Oleh karna itu muncul juga banyak imam qira’at Jika setiap imam mempunyai beberapa bacaan, lalu diajarkan kepada muridnya lagi, yang lain juga demikian. Maka betapa banyaknyariwayat qira`at yang beredar. Banyaknya qira`at yang tersebar di masyarakat menyebabkan kerancuan di kalangan masyarakat awam. Melihat situasi ini para ulama qira`at mulai memilih dan memilah bacaan yang dianggap betul-betul bacaan yang sah.

               Mereka kemudian menetapkan kaidah tentang bacaan yang diterima yang merupakan syarat diterimanya sebuah qira`at yaitu:

1. Qira`at tersebut sesuai dengan kaidah bahasa Arab karena Al-Qur`an berbahasa Arab.

2. Qira`at tersebut sesuai dengan salah satu mushaf Usmani. Sebab dalam penulisan mushaf para sahabat telah bersungguh-sungguh dalam membuat rasm sesuai dengan bermacam-macam dialek qira`at yang mereka ketahui. Apa yang tidak tertera dalam mushaf Usmani dianggap bacaan yang tidak masyhur dan ditolak.

3. Qira`at tersebut harus shahih isnadnya, sebab qira`at merupakan sunnah yang harus diikuti yang didasarkan kepada keselmatan penukilan dan keshahihan riwayat.

           Jika ketiga hal tersebut terpenuhi maka bacaan tersebut wajib diterima sebagai bacaan shahih. Namun jika salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi maka qira`at tersebut tidak bisa diterima dan dianggap syâz. Jadi timbul penyebaran qira`at sebenarnya terjadi pada abad II H ini, tatkala para qari telah tersebar ke berbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan qira`at para gurunya dari pada qira`at para imam lainnya. Qira`at tersebut diajarkan secara turun temurun dari guru ke guru hingga sampai kepada para imam qira`at.[6]

Pada zaman rasul sudah banyak sahabat yang ahli dalam ilmu al-Qur’an. Setelah Rasulullah wafat, para sahabat itulah yang mewarisi ilmu al-Qur’an dan mengajarkan kepada para penerusnya

Sesudah Rasulullah wafat, wilayah kekuasaan umat Islam semakin meluas, sehingga banyak para sahabat berpindah ke wilayah yang baru dan menetap di sana. Para Khulafa’ al-Rasyidin juga memerintahkan para sahabat ahli qura’ untuk mengajarkan qira’at di wilayah yang baru tersebut. Hal ini sesuai dengan yang diceritakan Ibnu Saad dalam kitab Thabaqah-nya sebagaimana yang dikutip oleh al-Rajihi bahwa, ada lima orang  dari sahabat Anshar yang sudah hafal al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad masih hidup. Mereka adalah, Mu’ad bin Jabal, ‘Ubadah bin al-Samit, Ubay bin Ka’ab, Abu Ayyub, dan Abu al-Darda’. Pada masa pemerintahan ‘Umar bin al-Khattab, Yazid bin Abi Sufyan yang saat itu menjabat sebagai gubernur Syam mengirim surat kepada khalifah untuk mengirim sahabat ahli qura’ ke Syam karena penduduknya sangat banyak dan mereka membutuhkan pengajar al-Qur’an.

Setelah menerima surat tersebut, Khalifah ‘Umar menyuruh tiga di antara lima sahabat tersebut untuk pergi ke Syam. Akan tetapi, karena saat itu Abu Ayyub sudah sangat tua dan Ubay bin Ka’ab juga sedang sakit maka yang berangkat adalah tiga sahabat yang lain yaitu, Mu’ad bin Jabal, ‘Ubadah bin al-Samit, dan Abu al-Darda’. Mereka bertiga memulai perjalanan menuju kota Hams, sesudah penduduk Hams bisa membaca al-Qur’an, akhirnya ‘Ubadah bin al-Samit meneruskan perjalanan ke Palestina dan meninggal di sana. Sedangkan Abu al-Darda’ menetap di Damaskus sampai wafat di sana.

Pada masa pemerintahan Khalifah ‘Usman bin ‘Affan, wilayah kekuasaan Islam semakin meluas sampai Armenia dan Azerbaijan. Di sana Huzaifah bin al-Yaman melihat perbedaan qira’at umat Islam. Karena takut terjadi perpecahan di kalangan umatnya seperti yang terjadi pada umat Yahudi, dia mengusulkan kepada Khalifah ‘Usman bin ‘Affan untuk menyeragamkan Al-Qur’an menjadi satu huruf. Akhirnya Khalifah Usman> bin ‘Affan menerima usulan tersebut, dengan membentuk panitia yang diketuai Zaid bin Sa|bit dan dibantu tiga orang Qurays untuk membukukan Al-Qur’an. Setelah Al-Qur’an yang ditulis Zaid bin Sabit selesai, ‘Usman bin ‘Affan memerintahkan untuk membakar semua catatan pribadi (Al-Qur’an) yang dimiliki kaum Muslimin.

Apa yang dilakukan Khalifah ‘Usman bin ‘Affan dengan hanya menunjuk Zaid bin S|abit mungkin menimbulkan beberapa pertanyaan. Hal ini dikarenakan beberapa sahabat yang pernah bertugas sebagai penulis wahyu pada masa Rasulullah seperti Ubay bin Ka’ab tidak diikutkan. Menurut pendapat yang kuat, hal ini dikarenakan ia wafat pada masa Khalifah ‘Umar bin al-Khattab. Selain itu, Ibn Mas’ud adalah orang yang berhati-hati dalam menanggapi perintah ‘Usman untuk membakar mushaf selain mushaf yang telah disusun oleh panitia yang dibentuk oleh khalifah ‘Usman bin ‘Affan.

Ia merasa keberatan merusak ayat dan surat yang telah didapatkan dari Rasulullah, terutama yang telah ia tulis dan hafalkan. Ia ingin menyimpan mushaf itu sampai hari kiamat. Secara umum bisa dikatakan, qira’at Ibn Mas’ud diterima kecuali beberapa bacaan yang di-nisbatkan kepadanya oleh ahli qira’at tetapi bertentangan dengan qira’at nya jumhur qura’. Ada riwayat yang disandarkan kepada Ibn Mas’ud bahwa ia memperbolehkan mengganti lafaz suatu ayat selama maknanya tidak berubah. Sehingga di dalam mushaf-nya Ibn Mas’ud ada lafaz-lafaz tafsir yang masuk pada ayat al-Qur’an.

Muhammad Mukhtar Walid Abah di dalam kitab, Tarikh al-Qira’at fi al-Masyriq wa al-Magrib, menyebutkan bahwa ada kemungkinan keberatan Ibn Mas’ud dikarenakan ia tidak hadir waktu proses penulisan al-Qur’an lantaran sedang ada di Kufah. Sedangkan ‘Ali bin Abi Talib termasuk sahabat yang membenarkan apa yang telah dilakukan oleh ‘Usman bin ‘Affan dalam membukukan al-Qur’an dan pembakaran mushaf, selain mushaf yang telah disusunnya. Ia juga mengakui mushaf yang disusun ‘Usman bin ‘Affan tidak berbeda dengan apa yang ada di dalam mushaf pribadinya.

Setelah pembukuan al-Qur’an dan penggandaannya selesai, Khilafah ‘Usman bin ‘Affan mengirimkan mushaf tersebut ke daerah-daerah disertai dengan seseorang yang sebagian besar bacaannya sesuai dengan bacaan yang berkembang di daerah tersebut. Para khufadz yang dikirim itu adalah: Zaid bin Sabit diperintahkan mengajarkan qira’at di Madinah, ‘Abdullah bin al-Saib dikirim ke Mekkah, Al-Mugirah bin Syihab dikirim ke Syam, Abu ‘Abd al-Rahman al-Salmi dikirim ke Kufah, Amir bin ‘Abd al-Qais dikirim ke Basrah[7]

E.     Pembukuan Qira’at

Setelah munculnya para ahli dan Imam qira’at pada periode sebelumnya, ilmu qira’at semakin berkembang dan banyaknya para pengkaji Al-Qur’an yang menfokuskan kajiannya terhadap qira’at. Maka sampailah kepada periode pembukuan ilmu qira’at, hal ini ditandai dengan munculnya kitab al-Qira’at yang ditulis oleh Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam (w.157-224/774-838). Inovasi yang dilakukan oleh Abu Ubaid menjadi preseden bagi para ulama ahli qira’at yang lain untuk merekam ide-ide mereka tentang disiplin ilmu qira’at dalam karya tulis. Di antaranya adalah Ahmad bin Jubair al-Kufi (w. 258/ 872) yang menyusun kitab al-Khamsah, sebuah kitab yang menghimpun nama lima orang qira’at untuk merepresentasikan ahli qira’at setiap kawasan Islam; Isma‘il bin Ishaq al-Maliki (199-282/815-896) yang menyusun kitab alQira’at, Abu Ja‘far bin Jarir ath-Thabari (224-320) yang menyusun kitab al-Qira’at. Abu Bakar Muhammad bin Ahmad al-Dajuni (w. 123/740), dan masih banyak yang lainnya.

Pada akhir abad ke-3 H muncul di kota Baghdad seorang ulama ahli qira’at yang reputasinya sangat luar biasa. Dialah Abu Bakar Ahmad bin Musa bin al-‘Abbas bin Mujahid (w. 245-324/859-935) yang lebih dikenal dengan julukan Ibnu Mujahid. Popularitasnya mengungguli para ulama segenerasinya, karena kadar keilmuan beliau yang sangat luas, pemahamannya terhadap disiplin ilmu qira’at sangat dalam, dialeknya dalam mengartikulasikan qira’at sangat baik, dan rutinitas ibadahnya sangat mengagumkan. Dalam kapasistasnya sebagai seorang syaikh ahli qira’at, Ibnu Mujahid mencoba menawarkan sebuah konsep tentang qira’at sab’ah, yakni sebuah limitasi jumlah madzhab qira’at yang diwakili oleh tujuh orang Imam qira’at. Untuk mendukung konsep yang ia tawarkan, beliau menyusun sebuah kitab yang berjudul kitab Sab‘ah fi alQira’at.

Menurut al-Zarqani, konsep qira’at sab‘ah yang disampaikan oleh Ibnu Mujahid secara kebetulan tanpa disertai pretensi apapun. Rumusan konsep qira’at sab‘ah adalah tujuh orang Imam qira’at yang menurut hemat beliau merupakan para tokoh yang sangat layak untuk dijadikan orang-orang nomor satu dalam bidang qira’at. Pembatasan yang dilakukan oleh Ibnu Mujahid ini tidak serta-merta menafikan ahli qira’at yang lain atau menimbulkan konsekuensi pada periwayat lain, namun pembatasan ini murni karena standarisasi yang ia tetapkan sendiri.

Konsep yang ditawarkan oleh Ibnu Mujahid ini mengundang perdebatan di kalangan ulama, diantara mereka ada yang pro dan yang kontra. Hal ini terjadi karena dikhawatirkan munculnya anggapan bahwa qira’at sab‘ah itu adalah sab’atu ahruf seperti yang disebutkan di dalam banyak riwayat. Terlepas dari pro dan kontra tentang konsep qira’at tujuh yang dicetuskan oleh Ibnu Mujahid, namun sejarah membuktikan bahwa konsep itulah yang lebih diterima dan masyhur di kalangan kaum Muslimin. Mungkin disinilah peran dan tugas para ulama untuk menerangkan kepada umat, bahwa qira’at tujuh yang dikenal sekarang ini tidak sama dengan sab‘atu ahruf yang diturunkan Jibril AS kepada Nabi. Umat Islam juga harus diberi wawasan kalau imam qira’at tidak hanya terbatas pada ketujuh Imam Qira’at tersebut. Itu artinya, ada riwayat Imam lain yang qira’atnya juga boleh dibaca selama sesuai dengan kualifikasi validitas qira’at.[8]

 

 

 

 

 

 


 

BAB III

P E NUTUP

A.    Kesimpulan

Bukti kemukjizatan al-Qur'an dari segi kepadatan makna (i‟jaz)nya, karena setiap qira‟at menunjukkan sesuatu hukum syara‟ tertentu tanpa perlu pengulangan lafadz. Rasulullah mengajarkan langsung setiap ayat yang turun kepada para sahabatnya. Dan para sahabat mendengarkan dengan saksama bagaimana cara Rasulullah membaca (tilawah) dan segala yang disampaikan olehnya. Pada saat menyampaikan wahyu, Rasulullah menggunakan huruf yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan para sahabat, agar mereka tidak merasa kesulitan dalam membaca al-Qur’an. Alhasil, para sahabat menerima al-Qur’an dengan bacaan yang beragam. Kadang Rasulullah menyampaikan wahyu saat sedang salat berjama’ah. Selain itu, dia juga memerintahkan kepada sahabat senior untuk mengajarkan qira’at kepada orang-orang yang baru saja masuk Islam. Sesudah Rasulullah wafat, para sahabat tersebar ke penjuru daerah bersama dengan ekspansi yang dilakukan oleh umat Islam. Selain itu, ada juga para sahabat yang memang sengaja dikirim oleh khalifah untuk mengajarkan al-Qur’an ke daerah-daerah tertentu. Pada masa tabi’in muncullah ahli-ahli qira’at yang terkenal, bahkan sampai saat ini. Mereka menyebarkan qira’at seperti yang mereka dapatkan dari sahabat. Mereka terus mengembangkan madrasah yang sudah dirintis oleh pendahulunya. Untuk mengembangkan qira’at mereka juga mulai mengarang kitab.

B.     Saran

Semoga penulisan ini bisa memberi manfaat untuk kita semua terutama para pambaca dan juga penulis sendiri. Dalam pembuatan makalah ini masih banyak ditemui kekurangan, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Agar kedepannya dapat terus meningkat dalam penulisan karya-karya kami. Kami juga memberi saran kepada pembaca untuk mencri referensi yang lebih lengkap lagi.




 

Daftar Pustaka

Ahmat Saepuloh, Qiraat Pada Masa Awal Islam, Episteme, vol-9, Nomor `, Juni 2014

Ismail, Sya’ban Muhammad, Mengenal Qira’at al-Qur’an. terj. Said Agil Husin al-Munawar, Semarang: Dina Utama, 1993.

Jamal ,Khairunnas & Afriadi Putra, Pengantar Ilmu Qira’at (Yogyakarta: KALIMEDIA,2009)

Misnawati , Qirâ`At Al-Qur`An Dan Pengaruhnya Terhadap Istimbath Hukum Jurnal Mudarrisuna, Volume 4, Nomor 1 (Januari – Juni 2014)



[1] Muhammad Isma’il, Mengenal Qira’at..., h. 65

[2]  Khairunnas Jamal & Afriadi Putra, Pengantar Ilmu Qira’at. Kalimedia, Yogyakarta 2020

[3] Muhammad Isma’il, Mengenal Qira’at..., h. 67. Lihat juga, Rizq al-Tawil, Fi‘Ulum al-Qira’at..., h. 72-73.

[4] Ibid., h.75-76.

[5] Muhammad „Ali al-Shâbûni, Al-Tibyân…,hal. 228-239

[6] Jurnal Mudarrisuna, Volume 4, Nomor 1 (Januari – Juni 2014) hlm 90

[7] Ahmat Saepuloh, Qiraat Pada Masa Awal Islam, Episteme, vol-9, Nomor `, Juni 2014

[8]  Khairunnas Jamal & Afriadi Putra, PENGANTAR ILMU QIRA’AT , hlm :36-37