Istilah dan
Metodologi Tafsir Indonesia
1. Pengertian
Tafsir Indonesia
Secara etimologi kata tafsir merupakan bentuk isim mashdar dari fassara-yufassiru tafsiran mengikuti wazan fa’ala-yufa’ilu-taf’ilan yang mempunyai arti menjelaskan, memahamkan, dan menerangkan. Sedangkan fasara-yafsiru-fasran mempunyai arti membuka.
Tafsir juga mempunyai arti kebahasaan al-kasyf berarti penyingkap, al-ibanah berarti menjelaskan, dan al-izhar yang berarti menampakkan makna yang tersembunyi.[1] Al-Dzahabi
menjelaskan bahwa secara bahasa tafsir berarti al-idah (menjelaskan) dan
al-tabyin (menerangkan)[2].
Sedangkan menurut terminologi, para ulama berpendapat bahwa tafsir bukanlah
ilmu yang mengharuskan adanya batasanbatasan. Karena tafsir bukanlah
kaidah-kaidah sebagaimana ilmuilmu yang berkaitan dengan rasionalitas. Menurut
al-Dzahabai, tafsir adalah ilmu yang menjelaskan tentang kalam Allah, atau ilmu
yang menjelaskan lafaz-lafaz al-Qur’an dan pemahaman-pemahaman lain yang
berkaitan dengannya.
Sedangkan
istilah tafsir Indonesia merupakan bentuk idafah dan gabungan dari tafsir dan
Indonesia. Abror (2002) menjelaskan bahwa tafsir Indonesia adalah kitab-kitab
tafsir atau karya-karya dibidang tafsir yang mempunyai karakteristik atau
kekhasan lokal Indonesia. Maksud dari karakteristik dan kekhasan lokal
Indonesia adalah sebuah buku tafsir yang ditulis oleh orang atau yang
dikaryakan dengan menggunakan bahasa lokal Indonesia, baik menggunakan salah
satu bahasa daerah di Indonesia (misal, bahasa Jawa, bahasa Sunda) maupun
dengan bahasa Indonesia sendiri
Kajian
tafsir Indonesia di sini adalah karya-karya tafsir yang ditulis oleh orang atau
yang dikarang dengan menggunakan salah satu bahasa daerah atau bahasa
Indonesia, rentang waktu sebelum abad 20 dan sesudahnya dengan melihat sejarah
kemunculan dan perkembangannya. Kajian tafsir Indonesia ini juga melihat sisi
metode yang dipakai para ulama’ Indonesia dalam menafsirkan ayat-ayat alQur’an
dan sejauh mana karya-karya tafsir ulama’ Indonesia ini andil dan turut serta
dalam perkembangan tafsir di Indonesia.
2. Sejarah Tafsir di Indonesia
Sejauh
menyangkut kedatangan Islam di Nusantara, terdapat diskusi dan perdebatan
panjang diantara para ahli mengenai tiga masalah pokok: tempat asal kedatangan
Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Sejumlah sarjana, kebanyakan
asal Belanda, memegang teori asal muasal Islam di Nusantara adalah anak benua
India, bukannya Persia ataupun Arabia. Sarjana pertama yang mengemukakan teori
ini adalah Pinapple, ahli dari Universitas Leiden. Dia mengaitkan asal muasal
Islam di Nusantara dengan wilayah Gujarat dan Malabar. Menurut dia, adalah
orang-orang Arab bermazhab Syafi‟i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India
tersebut yang kemudian membawa Islam ke Nusantara.[3]
Dalam proses
pembentukan komunitas Islam di Nusantara, para pedagang mempunyai peran yang
sangat berarti. Pertumbuhan komunitas Islam bermula di berbagai pelabuhan
penting di Sumatera, Jawa, dan pulau lainnya. Hal ini terjadi karena Islam
untuk pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat di Nusantara melalui jalan
dagang yang disinyalir oleh para pedagang muslim. Menjelang akhir abad ke-17
pengaruh Islam sudah hampir merata di berbagai wilayah penting di Nusantara
tidak hanya Sumatera, Jawa, Ternate dan Tidore, tetapi juga Kalimantan, Sulawesi
dan Nusa Tenggara.[4]
3. Sejarah Awal Kajian Al-Qur’an di
Nusantara
Sejarah
mencatat bahwa penyebaran Islam dari awal kemunculannya sampai hari ini,
diyakini tidak lepas dari sumber inti ajaran agama Islam, yaitu al-Qur’an. Maka
bisa dikatakan bahwa sejarah perkembangan Islam juga ditandai dengan sejarah
al-Qur’an dan penafsirannya, meskipun pada realitasnya sejarah al-Qur’an lebih
menitikberatkan pada peninggalan-peninggalan tertulis yang lahir dari tradisi
intelektual para ulama yang bersangkutan. Oleh karena itu, sejarah al-Qur’an
dan penafsirannya dalam konteks yang paling sederhana di Indonesia dapat dikaji
dan diteliti melalui sejarah masuknya Islam di Indonesia yang dibawa oleh para
saudagar dari Arab
Al-Qur’an
dikaji di saat Islam disebarkan oleh para juru dakwah, seiring dengan
perkembangan Islam di Indonesia seiring itu pula dikembangkan
pengajian-pengajian al-Qur’an dalam bentukbentuk kegiatan yang berkaitan dengan
ajaran Islam. Pada saat didirikan tempat-tempat ibadah seperti masjid,
mushalla, surau, langgar, pesantren di saat itu pula al-Qur’an mulai dikaji dan
diajarkan oleh para ulama kepada para pemeluk Islam.
4. Embrio Penulisan Tafsir Al-Qur’an
di Nusantara
Sejak
menyebarnya Islam di Nusantara yang bermula di wilayah Sumatera, terutama Aceh,
pengajian al-Qur’an terjadi tampak cukup meyakinkan. Merujuk pada naskah-naskah
yang ditulis ulama’ Aceh, dapat dilihat bahwa pada abad ke-16 telah mucul upaya
penafsiran al-Qur’an. Naskah tafsir QS. al-Kahfi: 9, yang tidak diketahui
penulisnya, diduga ditulis pada masa awal pemerintahan sultan Iskandar Muda
(1607-1636), di mana mufti kesultanannya adalah Syams ad-Din as-Sumatrani, atau
bahkan sebelumnya, Sultan ‘Ala’ ad-Din Ri’ayat Syah Sayyid al-Mukammil
(1537-1604), di mana mufti kesultanannya adalah Hamzah al-Fansuri. Di wilayah
Sumatera lain, se abad kemudian, muncul karya tafsir lengkap 30 juz dengan
judul “Tarjuman al-Mustafid”, yang merupakan karya Abd. Rauf asSingkili
(1615-1693 M). Sebagai magnum opus, tafsir perintis ini mendapatkan tempat,
bahkan tidak hanya di Indonesia, namun juga di negara-negara Islam lain.
Sebagai contoh, tafsir ini pernah diterbitkan di Singapura, Penang, Bombay,
Istanbul (Mathba’ah al-‘Us\maniyyah, 1302/1884 dan 1324/1906), Kairo (Sulaiman
al-Maragi) dan Mekah (al-`Amiriyyah)
Sedangkan
di daerah Jawa, penyebaran Islam dilakukan oleh Walisongo. Dalam penyebaran
Islam ini juga tidak lepas dengan pengajaran al-Qur’an. Di mulai oleh Raden
Rahmad (Sunan Ampel) yang mengajarkan al-Qur’an di pesantrennya di daerah Ampel
Denta. Seperti halnya di Sumatera, di Jawa pengajaran al-Qur’an juga diadakan
di surau, langgar, mushalla, masjid dan juga di rumah-rumah sang guru ngaji.
Sejak proses islamisasi yang digerakkan para Wali Sanga dan berdirinya kerajaan
Demak, sekitar tahun 1500, tentunya pengajaran al-Qur’an semakin marak,
meskipun dilakukan dengan sangat sederhana. Pada generasi selanjutnya, kerajaan
Islam dikuasai kesultanan Mataram Islam. Dalam beberapa Suluk, seperti Suluk
Sunan Bonang, Suluk Kalijaga, dan Suluk Syaikh Siti Jenar, terlihat bahwa
teks-teks al-Qur’an telah menjadi satu rujukan penting dalam membangun suatu
konsepsi keagamaan
5. Perkembangan Tafsir di Indonesia
Periode Klasik
( Abad VII – XV M )
a)
Bentuk Tafsir
Yang dimaksud dengan periode klasik
adalah sejak permulaan Islam sampai ke Indonesia, sekitar abad ke-1 H, dan ke-2
H, dan berlangsung sampai abad ke-10 H (VIIXV M). Penafsiran yang terjadi
selama kurun waktu kurang lebih sembilan abad itu disebut periode klasik karena
merupakan cikal bakal bagi perkembangan tafsir pada masa-masa sesudahnya.
Penafsiran pada periode ini boleh dikatakan belum menampakkan bentuk tertentu
yang mengacu pada al-ma’tsur atau ar- ra’yu karena masih bersifat umum. Hal itu
disebabkan oleh kondisi masyarakat pada masa itu, yang mana umat Islam
Indonesia pada waktu itu belum merupakan suatu komunitas muslim yang
sesungguhnya. Sehingga periode ini dapat dikatakan sebagai “Periode Islamisasi”
bangsa Indonesia
Dalam kondisi yang
demikian, jelas tidak mungkin memberikan tafsir Al-Qur‟an dalam bentuk
tertentu, seperti al-ma’tsur dan ar-ra’yu. Oleh karena itu, jika di amati
secara seksama bentuk tafsir Al-Qur‟an pada masa ini lebih tepat disebut
sebagai “Embrio” tafsir Al-Qur‟an, artinya yang merupakan bibit tafsir yang
akan tumbuh dan berkembang kemudian. Atau dapat juga dikatakan sebagai
penafsiran yang berbentuk embriotik integral, yaitu tafsir Al-Qur‟an yang
diberikan secara integral bersamaan dengan bidang lain, seperti fiqh, teologi,
tasawuf dsb.
b)
Metode dan Corak Tafsir
Dari ke empat metode tafsir yang dikenal dalam
tafsir Al-Qur‟an saat ini yang dilakukan para ulama pada periode ini
mengisyaratkan metode ijmali. Meskipun belum sepenuhnya mengikuti metode
tersebut sebab proses penafsiran dilakukan secara sangat sederhana, tidak salah
jika diketegorikan ke dalam kelompok tafsir ijmali. Itupun diterapkan secara
lisan tidak tertulis. Jadi walaupun tidak dijumpai karya khusus tentang tafsir
yang tertulis pada masa ini dengan telah berkembangnya Islam di kalangan bangsa
Indonesia, tidak salah jika disimpulkan bahwa tafsir Al-Qur‟an telah ada masa
ini meskipun belum di bukukan dan belum di bahas secara khusus. Tafsir tersebut
di berikan bersamaan dengan penjelasan tentang berbagi subjek bahasan, misalnya
teologi di tafsirkan ketika mengajarkan aqidah, ayat-ayat yang membicarakan
shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya di tafsirkan pada waktu mengajarkan
subjek tersebut.
Berdasarkan kenyataan itu kita dapat
berkata bahwa tafsir Al-Qur‟an pada periode ini bersifat sporadik, praktis dan
kondisional. Artinya, tafsir diberikan sesuai kebutuhan praktis. Hal ini sangat
logis karena sebagian besar mereka masih buta hurup sehingga mereka hanya
mengandalkan kekuatan ingatan dalam proses internalisasi ajaran atau nilai.
Berangkat dari fakta tersebut tampak pada kita bahwa ulama pada periode klasik
menerapkan metode tafsir yang tepat karena sesuai dengan kondisi umat Jadi pada
hakikatnya tafsir Al-Qur‟an pada periode klasik ini menganut corak umum, tidak
mengacu pada suatu corak tertentu sebagaimana yang terjadi pada periode-periode
kemudian.[5]
Periode
Tengah (abad XVI-XVII M)
a)
Bentuk Tafsir
Al-Qur‟an pada masa ini lebih berkembang dan
lebih dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena tidak didasarkan pada
kekuatan ingatan semata sebagaimana periode klasik, dan sudah mempunyai buku
pegangan yang representative dari ahli tafsir yang kompeten dan professional.
Berpijak pada kenyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tafsir Al-Qur‟an di
Indonesia baru dimulai secara faktual pada periode tengah ini. Diantara upaya
penafsiran yang dilakukan ulama pada periode ini ialah membaca dan memahami tafsir
tertulis yang datang dari Timur Tengah, seperti kitab tafsir Al Jalalain yang
dibacakan kepada murid-murid lalu diterjemahkan kedalam bahasa murid (Melayu,
Jawa, Sunda, dan sebagainya). Berdasarkan hal tersebut, tafsir Al-Qur‟an yang
disampaikan kepada umat berbentukar-ra’yu, karena tafsir AlJalalain yang
dipelajari itu dalam bentuk pemikiran (ar-ra’yu), sementara bentuk alma’tsur
bisa dikatakan tidak begitu populer, bahkan boleh disebut tidak masuk ke
Indonesia pada waktu itu, meskipun pada periode ini tafsir Al-Qur‟an di Timur
Tengah telah berkembang teramat pesat.
b)
Metode dan Corak Tafsir
Metode tafsir yang diterapkan tidak
berbeda dari apa yang dipakai pada periode klasik, yaitu metode ijmali
(global), tetapi teknik penyampaiannya telah meningkat. Kalau pada periode
klasik sepenuhnya disampaikan secara lisan, pada periode ini teknik
penyampaiannya telah dilengkapi dengan kitab. Adapun corak atau dominasi tafsir
pada periode ini masih seperti pada periode klasik, yaitu bersifat umum tidak
mengacu pada pemikiran tertentu sebagaimana diwakili oleh kitab tafsir
Al-Jalalain, yang dijadikan pegangan pada saat itu.
Sepintas penilaian itu mungkin terkesan
sedikit subjektif karena tergambar seolah-olah tafsir Al-Jalalain tersebut
paling top, tidak ada duanya. Namun jika ditelusuri kondisi umat pada waktu
itu, yaitu di zaman Walisongo dulu, kesan subjektif itu tidak perlu muncul
karena pada masa itu pola pikir umat masih sangat sederhana, jangkauan nalar
mereka belum begitu luas, pengetahuan mereka terbatas sekali, dan buta huruf
merupakan pemandangan umum ditengah masyarakat Indonesia pada saat itu.[6]
Periode
Pramodern (abad XIX M)
a)
Bentuk Tafsir
Pada abad ke-18 muncul beberapa ulama-ulama yang menulis dalam
berbagai disiplin ilmu termasuk tafsir meskipun yang paling menonjol adalah
karya yang terkait mistik ilmu atau ilmu tasawuf. Diantara ulama tersebut
adalah Abd Shamad al-Palimbani, Muhammad Arsyad al- Banjari, Abd Wahhab Bugis,
Abd Rahman al-Batawi dan Daud al-Fatani yang bergabung dalam komunitas Jawa.
Karya-karya mereka tidak berkontribusi langsung kepada bidang tafsir, akan
tetapi banyak kutipan ayat Al-Qur`an yang dijadikan dalil untuk mendukung
argumentasi atau aliran yang mereka ajarkan seperti dalam kitab Syar
al-Salikin, yang ditulis oleh al-Palimbani dari ringkasan kitab Ihya „Ulum
al-Din karya al-Ghazali.
Tafsir Al-Qur‟an pada periode
pramodern tidak jauh berbeda dari apa yag dilakukan pada periode tengah. Jadi,
cara substansial tafsir mereka sama karena samasama memakai kitab tafsir
Al-Jalalain dalam pengajaran tafsir kepada murid-murid. Dengan demikian wawasan
tafsir Al-Qur‟an diseluruh Indonesia berada pada level yang sama. Meskipun kitab
yang dipelajarinya sama, namun teknik cara penyampaian dan sarananya tampak
lebih maju. Kalau pada periode yang lalu penerjemahan yang dilakukan belum
tertulis, maka periode ini telah ditulis, demikian pula dengan tempat dan
sistem pengajian dibuat semacam halaqoh. selain itu perkembangan pemikiran juga
telah meningkat kepada syarh terhadap tafsir Al-Jalalain tersebut sesuai dengan
kebutuhan murid-murid. Syarh tersebut ada yang berbahasa pribumi dan ada pula
yang berbahasa Arab.
b)
Metode dan Corak Tafsir
Jika diperhatikan dari sudut bentuk,
metode dan corak penafsiran tampak bahwa ketiga komponen itu juga tidak banyak
berubah. Bentuk tafsir tetap berupa ar-ra’yu, metode dan coraknya pun sama.
Berdasarkan dengan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa perkembangan tafsir di
Indonesia sampai abad ke-19 M itu masih belum mengembirakan, atau dengan
ungkapan lain tafsir Al-Qur‟an sampai priode itu masih belum bisa diandalkan
untuk membimbing umat ke arah suatu penafsiran ayat-ayat Al-Qur‟an secara
menyeluruh dan tuntas. Beberapa kemungkinan yang menyebabkan hal tersebut
antara lain :
1) Tafsir secara langsung dari
Al-Qur‟an dianggap tidak diperlukan karena kebutuhan, hal itu dapat dipenuhi
oleh kitab-kitab lain, seperti fiqh, tasawuf, dan tauhid.
2) Mempelajari Al-Qur‟an secara
langsung membutuhkan bahasa Arab yang kuat. Tanpa itu mustahil mereka dapat
mempelajarinya.
3) Adanya anggapan untuk mendapatkan
ilmu melalui tafsir Al-Qur‟an jalurnya terasa agak panjang dan berliku sehingga
terlalu lama sampai ke tujuan, yaitu amaliah sehari-hari.
Periode
Modern (abad XX M)
a)
Bentuk Tafsir
Sejak akhir tahun 1920-an dan
seterusnya, sejumlah terjemahan Al-Qur‟an dalam bentuk perjuz, bahkan seluruh
isi Al-Qur‟an mulai bermunculan. Kondisi penerjemahan Al-Qur‟an semakin kondisif
setelah terjadinya sumpah pemuda pada tahun 1928 yang menyatakan bahwa bahasa
persatuan adalah bahasa Indonesia. Tafsiral-Furqon misalnya adalah tafsir
pertama yang di terbitkan pada tahun 1928. Selanjutnya atas bantuan pengusaha
yaitu Saad Nabhan, pada tahun 1953 barulah proses penulisannya di lanjutkan
kembali hingga akhirnya tulisan tafsir al-Furqonsecara keseluruhan 30 juz dapat
di terbitkan pada tahun 1956.
Pada tahun 1938 Mahmud Yunus
menerbitkan Tarjamat Al-Qur’anul Karim. Kemudian pada tahun 1942, Mahmud Aziz
menyusun sebuah tafsir dengan judul Tafsir Qur’an Bahasa Indonesia. Proses
terjemahan semakin baju pasca kemerdekan RI pada tahun 1945 yaitu munculnya
beberapa terjemahan seperti Al-Qur‟an dan terjemahannya yang didukung oleh
Menteri Agama saat itu. Pada tahun 1955 di Medan dan dicetak ulang di Kuala
Lumpur pada tahun 1969, di terbitkan sebuah tafsir dengan judul Tafsir
Al-Qur’an Al-Karim yang disusun oleh tiga orang yaitu A. Halim Hasan, Zainal
Arifin Abbas, dan Abdurrahim Haitami.
Tidak kalah pentingnya adalah tafsir
yang menggunakan bahasa daerah. Diantara tafsir dalam bahasa daerah adalah
seperti upaya yang dilakukan KH. Muhammad Ramli dengan al-Kitab al-Mubin, yang
diterbitkan pada tahun 1974 dalam bahasa Sunda. Sedangkan dalam bahasa Jawa
antara lain Kemajuan Islam Yogyakarta dengan tafsirnyaQur’an Kejawen dan Qur’an
Sandawiyah, KH. Bisyri Mustafa Rembang dengan tafsir al-Ibriz pada tahun 1950.
b)
Metode Tafsir
Dengan melihat tafsir-tafsir yang
muncul dari abad ke-17 hingga abad ke-21, bentuk-bentuk penulisan tafsir di
Indonesia dapat dikategorikan dalam beberapa kategori berdasarkan tinjauan yang
digunakan. Penulisan tafsir di Indonesia bila ditinjau dari segi sistematika
penulisan dapat dibagi dalam dua bagian yaitu tahlili dan maudhu‟i.
Tahlili
Metode tahlili atau runtut adalah penulisan tafsir yang mengacu
pada urutan surat yang ada dalam mushaf atau mengacu pada turunnya wahyu.
Kenbanyakan tafsir Indonesia menggunakan metode ini, di antaranya Tarjuman
al-Mustafid karya Abd Rauf Assinkili, Tarjamat Al-Qur’an al-Karim karya Mahmud
Yunus, Al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulya karya H.B Jassin, Quraish Syihab dengan
tafsir al-Misbah. Disamping itu, banyak juga tafsir-tafsir dalam bahasa daerah,
baik menggunakan bahasa Jawa, Sumatera maupun bahasa yang ada di Sulawesi
menggunakan metode tahlili.
Metode Maudhu‟i (Tematik)
Penulisan dalam tafsir yang menggunakan metode tematik itu baru
muncul pada abad ke-20, yaitu pada saat dibukanya pasca sarjana pada perguruan
tinggi oleh Harun Nasution pada tahun 1982. Diantara tematik klasik adalah
Ayat-Ayat Tahlil karya Muhammad Quraish Shihab, Edham Syafi‟i dengan karya
Tafsir dan Juz ‘Amma.[7]
[1] Manna’
al-Qaththan, Mabahis\ fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah, 1994,
hlm. 345
[2] Muhammad
Husain az-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Makt - bah Wahbah, 1995),
Jilid 1, hlm. 13.
[3]
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII-XVIII, (Bandung: Mizan,
1994), 35-39.
[4]
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII-XVIII, h 50
[5]
Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir di Indonesia, h 40
[6]
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika Hingga Ideology, h
30
[7]
Subhi Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), h
14
0 Komentar