A.
Pendahuluan
Hukum Islam yang kita pahami dan kita peroleh dewasa ini dihasilkan melalui proses panjang usaha penggalian dari sumber asalnya. Salah satu sumber pokok dari istinbat hukum tersebut adalah Al-Qur’an.
Proses istinbat ini tidak mungkin bisa dilalui tanpa adanya proses interpretasi atas Al-Qur’an itu sendiri, yang mana istinbat hukum ini adalah salah satu tujuan utama dari tafsir al-Qur’an. Tafsir Al-Qur’an, baik sebagai sebuah proses ataupun sebuah produk, tidak mungkin bisa dilepaskan dari tujuan utama dari ajaran Islam , yaitu menciptakan kemaslahatan dan rahmat bagi seluruh alam. Sehingga sebuah produk penafsiran haruslah menghasilkan kemaslahatan. Kontroversi seputar hukum bunga dan
pembahasan riba telah menjadi perdebatan yang cukup lama. Perdebatan dalam
merumuskan seputar hukum bunga dan riba tersebut, lebih mengarah pada perbedaan
dalam memahami illat hukum larangan riba. Sebagian ulama fiqh klasik menggunakan
pendekatan fiqhiyyah (tekstualis formalis), sehingga segala bentuk kelebihan
dari pokok hutang dikatakan sebagai riba yang diharamkan. Sementara ulama fiqh
kontemporer menggunakan pendekatan makna subtansi, sehingga tidak setiap
kelebihan dari pokok hutang itu menjadi riba Perbedaan pendapat ulama seputar
riba yang terjadi sekarang ini dapat dimaklumi, karena wahyu mengenai riba yang
terakhir turun kepada Rasulullah saw.
Para ahli hukum
Islam membagi riba menjadi dua, yaitu riba fadhl dan riba nasi’ah. Riba fadhl
adalah riba yang berlaku dalam jual beli yang didefinisikan oleh para ulama
fiqhi dengan “kelebihan pada salah satu harta sejenis yang diperjual belikan
dengan ukuran syara’.” Yang dimaksud ukuran syara’ adalah timbangan atau ukuran
tertentu. Misalnya, satu kilogram beras dijual dengan satu seperempat kilogram.
Kelebihan seperempat kilogram tersebut disebut riba fadhl. Jual beli semacam
ini hanya berlaku dalam transaksi barter. Sedangkan riba nasi’ah adalah
kelebihan atas piutang yang diberikan orang yang berutang kepada pemilik modal
ketika waktu yang disepakati jatuh tempo. Apabila waktu
Pada penelitian ini, penulis
menggunakan metode penafsiran maqosidi yaitu Jenis tafsir yang membahas
makna-makna lafadz al-Qur’an dan perluasan makna lughowinya, disertai
penjelasan hikmah-hikmah dan tujuan-tujuan yang hendak diwujudkan melalui
diturunkannya al-Qur’an dan disyariatkannya hukum-hukum Islam. Berdasarkan
penjelasan diatas maka peneliti akan membahas tentang makna-makna ayat
Al-qur’an yang membahas tentang hukum riba beserta dengan hikmah-hikmah yang
terkandung di dalamnya.[1]
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana
riba menurut Al-qur’an?
2. Bagaimana
Penafsiran Maqasidi Q.S Ali Imran ayat 130?
C.
Metodologi
Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan, artinya data dan
bahan kajian yang dipergunakan berasal dari sumber-sumber kepustakaan, seperti
buku (kitab) tafsir dan buku-buku fiqh yang membahas masalah riba. Pendekatan
sosiologis yuridis digunakan untuk melihat latar belakang sosiologis yang
menjadi sebabayatlaranganriba itu turunatau dalam bahasa tafsir adalah asbabul
nuzul ayat riba. Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu
berusaha memaparkan fenomena hukum yang terjadi apa adanya, kemudian menarik
pemahaman atau kesimpulan berdasarkan penilaian terhadap fenomena
tersebut.Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif dengan pola pikir deduktif dan induktif
D.
Pembahasan
1.
Pengertian
Riba
Secara leksikal, kata riba berarti tambah dan tumbuh. Yakni segala
sesuatu yang tumbuh dan bertambah itu dinamakan riba[2].
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “riba” diartikan dengan “pelepas uang:
lintah darat, bunga uang dan rente” Pengertian “riba” menurut istilah syara‘
(agama) adalah tambahan yang disyaratkan kepada seseorang dalam suatu transaksi
jual beli, utang piutang dari semua jenis barang, baik berupa perhiasan,
makanan, tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan, maupun benda-benda tertentu yang bisa
dipertukarkan dengan cara tertentu.[3]
2. QS. Ali Imran ayat 130
يٰٓاَيُّهَا
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوا الرِّبٰوٓا اَضْعَافًا مُّضٰعَفَةً
ۖوَّاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَۚ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”
Kaum kafir membiayai perang, termasuk Perang Uhud,
dengan harta yang mereka peroleh dengan cara riba. Oleh karena itu Allah
mengingatkan, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba,
yaitu mengambil nilai tambah dari pihak yang berutang dengan berlipat ganda
sebagaimana yang terjadi pada masyarakat Jahiliah, maupun penambahan dari pokok
harta walau tidak berlipat ganda, dan bertakwalah kepada Allah, antara lain
dengan meninggalkan riba, agar kamu beruntung di dunia dan di akhirat” (Lihat:
Surah al-Baqarah/2: 279)
3. Hukum Larangan Riba
Menurut ulama Hanafiyah, illat hukum keharaman riba al-nasi’ah
adalah kelebihan pembayaran dari pokok hutang yang ditunda pembayarannya pada
waktu tertentu. Misalnya, Ahmad berhutang kepada Amir sejumlah dua ratus ribu
rupiah, yang pembayarannya dilakukan bulan depan dan dengan syarat pengembalian
hutang itu dilebihkan menjadi dua ratus lima puluh ribu rupiah. Kelebihan uang
dengan tenggang waktu ini disebut dengan riba al-nasi’ah. Unsur kelebihan
pembayaran dapat berlipat ganda, apabila hutang tidak dapat dibayar pada saat
jatuh tempo, menurut ulama Hanafiyah, merupakan suatu kezaliman dalam muamalah.
Kezaliman, bagaimanapun
Mereka sepakat, jika kelebihan itu tidak ditetapkan dimuka, maka
kelebihan itu tidak termasuk riba. Hal ini sesuai dengan apa yang pernah
dilakukan oleh Nabi, ketika membayar hutang kepada Jabir ibn’ Abdillah , Nabi
melebihkannya (Hadits riwayat Bukhori Muslim). Berdasarkan pendapat ulama ahli
fiqh mengenai riba diatas, maka dapat dipahami bahwa illat hukum larangan riba
adalah adanya tambahan (bunga) dari pokok harta yang tidak dimbangi oleh
transaksi pengganti yang dibenarkan oleh syara’
4. Riba dalam prespektif Hadist Nabi SAW
Nabi Muhammad
SAW telah menegaskan dengan bahasa yang keras untuk memperingatkan umat manusia
dan juga umat Islam mengenai riba, sebagai berikut :
Abu Hurairah
telah mengatakan bahwa pesuruh Allah bersabda: “Riba terdiri dari tujuh puluh
jenis yang berbeda dan yang paling kurang bahayanya adalah setara dengan
seorang pria menikahi (yaitu melakukan hubungan jenis) dengan ibunya sendiri”
(Ibn Majah, Baihaqi)
Hadis di atas
seharusnya membuka mata para pembaca akan bahaya teramat besar. Ini akan
menyebabkan perbudakan. Kebanyakan tanah pertanian di Pakistan dimiliki oleh
tuan tanah yang kaya raya. Mereka mempekerjakan para petani untuk mengerjakan
tanah tersebut dan memastikan para petani tersebut bekerja untuk mereka dengan
gaji yang murah. Mereka menggunakan sistem mukhabarah ini secara langsung
memenjara para petani di dalam sistem kemiskinan yang tetap, itu adalah riba
E.
Kesimpulan
Dari urain di atas, maka dapat disimpulkan bahwa riba merupakan
kegiatan eksploitasi dan tidak memakai konsep etika atau moralitas. Masalah
mengharamkan transaksi yang mengandung unsur ribawi, hal ini disebabkan
mendholimi orang lain dan adanya unsur ketidakadilan (unjustice). Para ulama
sepakat dan menyatakan dengan tegas tentang pelarangan riba. Secara garis besar
riba riba ada dua yaitu: riba akibat hutang piutang dan riba akibat jual beli.
Berbicara riba identik dengan bunga bank atau rente, sering kita
dengar di tengahtengah masyarakat bahwa rente disamakan dengan riba. Pendapat
itu disebabkan rente dan riba merupakan "bunga" uang, karena
mempunyai arti yang sama yaitu sama-sama bunga, maka hukumnya sama yaitu haram.
F.
Daftar Pustaka
[1]
Ibnul Qayyim Al Jauziyyah A’lam al-Muwaqqi’in, Beirut; Dar alJail 1973
Tim Majma‘ al-Lugah al-‘Arabiyah,
AlMu‘jam al-Wasith, Jilid 1 (Kairo: Majma‘ alLugah al-‘Arabiyah, t.th.), h.
338.
Antonio,
Muhammad Syafi’i, 2001, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, Jakarta; Gema
Insani
0 Komentar